BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di Indonesia terdapat
berbagai macam tanaman obat. Tanaman obat atau yang biasa dikenal dengan obat
herbal adalah sediaan obat baik berupa obat tradisional, fitofarmaka, maupun
farmasetika. Dapat berupa simplisia (bahan segar atau yang dikeringkan), ekstrak,
kelompok senyawa atau senyawa murni yang berasal dari alam.
Tanaman obat dapat memberikan nilai
tambah apabila diolah lebih lanjut menjadi berbagai jenis produk. Tanaman obat
tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam produk, seperti simplisia (rajangan), serbuk,
minyak atsiri, ekstrak kental, ekstrak kering, kapsul maupun tablet.
Simplisia merupakan bahan alami yang
digunakan sebagi bahan baku obat yang belum mengalami pengolahan atau baru dirajang saja, tetapi
sudah dikeringkan. Permintaan bahan baku
simplisia sebagai bahan baku obat-obatan semakin meningkat dengan bertambahnya
industri jamu. Selain itu, juga
dikarenakan efek samping penggunaan tanaman obat untuk mengobati
suatu penyakit lebih kecil dibandingkan obat sintetis.
Produk hasil
tanaman obat tidak hanya sampai pada bentuk simplisia, namun juga sampai pada
bentuk ekstrak sebagai komoditi agrobisnis, melalui industri ekstrak. Untuk
memperoleh keajegan dari mutu ekstrak yang diproduksi, maka setiap ekstrak
harus dilakukan standarisasi.
Tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans, Poir) adalah salah satu
obat herbal yang memiliki aktivitas antihiperglikemik. Untuk
memperoleh senyawa aktif dari tanaman kankung darat yang bermutu baik, maka
perlu dilakukan standarisasi ekstrak yang dihasilkan.
B. Rumusan
Masalah
1) Apakah
yang dimaksud dengan simplisia ?
2) Bagaimanakah
cara pembuatan simplisia kangkung darat yang baik dan benar ?
3) Bagaimana
standarisasi yang dilakukan pada ekstrak kangkung ?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini, antara lain:
1) Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan simplisia,
2) Untuk
mengetahui cara pembuatan simplisia kangkung darat yang baik dan benar, dan
3) Untuk
mengetahui standarisasi dari ekstrak kangkung yang dihasilkan.
D. Metode
Penelitian
Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang dilakukan
untuk mengetahui cara pembuatan simplisia kangkung yang baik dan benar serta
untuk mengetahui mutu dari ekstrak yang dihasilkan dengan standarisasi.
Penelitian ini dilakukan dengan ekstraksi simplisia daun kangkung darat kemudian
dilakukan standarisasi ekstrak yang dihasilkan. Rancangan penelitian ini
dilakukan secara acak dengan mengambil sampel kangkung darat dari tiga daerah
yang berbeda.
Populasi yang di
gunakan dalam penelitian ini adalah kangkung darat. Sedangkan sampel yang di
gunakan dalam penelitian ini adalah kangkung darat yang diperoleh dari daerah Balangan (Kab. Sleman), Candisari (Kab. Sleman), dan
Gantiwarno (Kab. Klaten).
Dasar-dasar pembuatan
simplisia adalah sebagai berikut :
a. Simplisia
dibuat dengan cara pengeringan
Pembuatan
simplisia dengan cara ini dilakukan dengan pengeringan cepat, tetapi dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang terlalu lama akan
mengakibatkan simplisia yang diperoleh ditumbuhi kapang. Pengeringan dengan
suhu yang tinggi akan mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan senyawa
aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, untuk simplisia yang memerlukan
perajangan perlu diatur panjang perajangannya, sehingga diperoleh tebal irisan
yang pada pengeringan tidak mengalami kerusakan.
b. Simplisia
dibuat dengan fermentasi.
Proses
fermentasi dilakukan dengan seksama, agar proses tersebut tidak berkelanjutan
kearah yang tidak diinginkan.
c. Simplisia
dibuat dengan proses khusus.
Pembuatan simplisia dengan penyulingan,
pengentalan eksudat nabati, penyaringan sari air dan proses khusus lainnya
dilakukan dengan berpegang pada prinsip bahwa pada simplisia yang dihasilkan
harus memiliki mutu sesuai dengan persyaratan.
d. Simplisia
pada proses pembuatan memerlukan air.
Pati, talk dan sebagainya pada proses
pembuatannya memerlukan air. Air yang digunakan harus terbebas dari pencemaran
serangga, kuman patogen, logam berat dan lain-lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Simplisia
Simplisia adalah bahan
alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga
dan kecuali dinyatakan lain, simplisia merupakan bahan yang dikeringkan.
Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan
atau mineral.
Simplisia nabati adalah
simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang
dimaksud dengan eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati
lainnya yang dengan cara tertentu di pisahkan dari tanamannya.
Simplisia hewani adalah
simplisia yang berupa hewan utuh , bagian hewan atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
Simplisia mineral atau
pelikan adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum
diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia
murni.
Untuk menjamin
keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka simplisia harus
memenuhi persyaratan minimal. Dan untuk memenuhi persyarata minimal tersebut, ada
beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain :
a. Bahan
baku simplisia.
b. Proses
pembuatan simplisia termasuk cara penyiapan bahan baku simplisia.
c. Cara
pengepakan dan penyimpanan simplisia.
Agar simplisia memenuhi
persyaratan minimal yang ditetapkan, maka ketiga faktor tersebut harus memenuhi
persyaratan minimal yang telah ditetapkan.
Adapun macam-macam
simplisia nabati dapat berasal dari bagian tumbuhan, antara lain:
a) Rimpang (rhizome)
Rimpang merupakan
batanf dan daun yang terdapat di dalam tanah, bercabang-cabang, dan tumbuh
tunas yang muncul ke atas tanah dan menjadi tumbuhan baru. Kunyit dan Jahe
merupakan salah satu contoh jenis rimpang yang biasa dijadikan simplisia.
b) Akar
(radix)
Akar merupakan bagian
tumbuhan yang biasanya terdapat dalam tanah. Tugas akar selain memperkuat
tegaknya tumbuhan, menyerap air dan zat makanan dari dalam tanah, kadang-kadang
juga sebagai tempat menimbun makanan. Menurut bentuknya, dibedakan 2 macam akar
yaitu akar tunggang dan akar serabut. Akar tunggang hanya terdapat pada
tumbuhan yang ditanam dari biji. Akar untuk simplisia bisa dari tanaman rumput,
perdu, atau tanaman berkayu keras. simplisia akar dikumpulkan ketika proses
pertumbuhannya terhenti. Contoh akar yang kerap dijadikan simplisia adalah
Ginseng.
c) Kayu
(Lugnum)
Kayu yang biasa
digunakan sebagai simplisia merupakan kayu tanpa kulit. Pemotongan kayu
biasanya dilakukan miring sehinggak permukaan menjadi lebar. Kadangkala berupa
serutan kayu.
d) Kulit
Kayu (Cortex)
Kulit kayu merupakan
bagian terluar dari batang pada tanaman. Contoh kulit kayu yang dijadikan
simplisia adalah kayu manis dan kayu secang.
e) Biji
(Semen)
Biji biasanya
dikumpulkan dari buah yang masak. Contoh bagian biji yang digunakan sebagai
simplisia adalah biji mahoni dan biji kemangi atau sering disebut selasih.
f) Buah
(fructus)
Buah untuk simplisia
biasanya dikumpulkan setelah masak. Contoh buah yang biasa dijadikan simplisia
adalah buah mengkudu.
g) Bunga
(flos)
Bunga yang digunakan
sebagai simplisia dapat berupa bunga tunggal atau majemuk. Contoh bunga yang
dijadikan simplisia adalah bunga melati dan bunga cengkeh.
h) Daun
(folium)
Bisa dikatakan, daun
adalah jenis simplisia yang paling sering digunakan dalam pembuatan herbal.
simplisia tersebut bisa derupa daun segar atau kering dan dapat berupa pucuk
daun seperti teh atau daun tua seperti daun salam.
i) Herba
(herba)
Herba merupakan seluruh
bagian dari tanaman obat mulai dari akar, batang, daun, bunga, dan buah yang
berasal dari tanaman jenis terna yangbersifat herbaceus. Contohnya , Pegagan.
.
2. Cara
Pembuatan Simplisia yang Baik dan Benar
Proses
pembuatan simplisia terdiri atas:
1) Pengumpulan
Bahan Baku
Tahapan
ini sangat menentukan kualitas bahan baku, dimana faktor yang paling berperan
adalah masa panen. Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus
bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering.Alat yang diguna-kan
dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah yang tidak
diperlukan. Seperti rimpang, alat untuk panen dapat menggunakan garpu
atau cangkul. Bahan yang rusak atau busuk harus segera dibuang atau
dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keranjang, kantong, karung dan
lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk dan tidak
rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan tidak
terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebab-kan terjadinya proses
fermentasi/ busuk. Bahan juga harus dijaga dari gang-guan hama (hama
gudang, tikus dan binatang peliharaan).
Kemudian
proses pasca panen yang merupakan kelanjutan dari proses panen terhadap tanaman
budidaya atau hasil dari penambangan alam yang fungsinya antara lain untuk
membuat bahan hasil panen tidak mudah rusak dan memiliki kualitas yang baik
serta mudah disimpan untuk diproses selanjutnya. Untuk memulai proses
pasca panen perlu diperhatikan cara dan tenggang waktu pengumpulan bahan
tanaman yang ideal setelah dilakukan proses panen tanaman tersebut.
Selama proses pasca panen sangat penting diperhatikan keber-sihan dari alat-alat
dan bahan yang digunakan, juga bagi pelaksananya perlu memperhatikan
perlengkapan seperti masker dan sarung tangan. Tujuan dari pasca panen
ini untuk menghasilkan simplisia tanaman obat yang bermutu, efek terapinya
tinggi sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.
2) Sortasi
Basah
Penyortiran
segar atau sortasi basah dilakukan setelah selesai panen dengan tujuan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dengan yang
muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Bahan nabati
yang baik memiliki kandungan campuran bahan organik asing tidak lebih dari 2%.
Proses penyortiran pertama bertujuan untuk memisahkan bahan yang busuk atau
bahan yang muda dan yang tua serta untuk mengurangi jumlah pengotor yang ikut
terbawa dalam bahan.
3) Pencucian
Pencucian
bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi mikroba-mikroba yang
melekat pada bahan. Pencucian harus segera di-lakukan setelah panen karena
dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian menggunakan air bersih seperti air
dari mata air, sumur atau PAM. Penggunaan air kotor menyebabkan jumlah
mikroba pada bahan tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat
pencucian perhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor
ulangi pencucian/pembilasan sekali atau dua kali lagi. Perlu diperhatikan bahwa
pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari
larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan. Pencucian bahan dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
a) Perendaman
bertingkat
Perendamana
biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak mengandung kotoran seperti
daun, bunga, buah dll. Proses perendaman dilakukan beberapa kali
pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air cuciannya mengandung
kotoran paling banyak. Saat perendaman kotoran-kotoran yang melekat kuat
pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Metoda ini akan
menghemat peng-gunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang
terkandung dalam bahan.
b) Penyemprotan
Penyemprotan
biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya banyak melekat pada bahan seperti
rimpang, akar, umbi dan lain-lain. Proses penyemprotan dilakukan de-ngan
menggunakan air yang ber-tekanan tinggi. Untuk lebih me-nyakinkan kebersihan
bahan, ko-toran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan
tangan. Proses ini biasanya meng-gunakan air yang cukup banyak, namun dapat
mengurangi resiko hilang/larutnya kandungan dalam bahan.
c) Penyikatan
(manual maupun oto-matis)
Pencucian
dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang keras/tidak lunak dan
kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat bantu sikat
yang digunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam hal ini perlu diper-hatikan
kebersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap bahan
secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahannya. Pembilasan
dilakukan pada bahan yang sudah disikat.Metode pencucian ini dapat menghasilkan
bahan yang lebih bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun
meningkatkan resiko kerusa-kan bahan, sehingga merangsang tumbuhnya bakteri
atau mikroorganisme.
4) Pengubahan
Bentuk
Bertujuan
untuk meningkatkan luas permukaan bahan baku sehingga proses pengeringan akan
berlangsung cepat. Contoh perlakuan untuk pengubahan bentuk adalah perajangan
pada rimpang, daun dan herba. Ukuran perajangan tergantung dari bahan yang
digunakan dan ber-pengaruh terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan.
Perajangan terlalu tipis dapat mengurangi zat aktif yang terkandung dalam
bahan. Sedangkan jika terlalu tebal, maka pengurangan kadar air dalam
bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam penjemuran dan
kemungkinan besar bahan mudah ditumbuhi oleh jamur.Ketebalan perajangan untuk
rimpang temulawak adalah sebesar 7 – 8 mm, jahe, kunyit dan kencur 3 – 5
mm. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang
tajam dan terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin pemotong atau
perajang. Bentuk irisan split atau slice tergantung tujuan pemakaian.
Untuk tujuan mendapatkan minyak atsiri yang tinggi bentuk irisan sebaiknya
adalah membujur (split) dan jika ingin bahan lebih cepat kering bentuk irisan
sebaiknya melintang (slice).
5) Pengeringan
Pengeringan
adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan dengan cara mengurangi
kadar air, sehingga proses pembusukan dapat terhambat. Dengan demikian
dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan disimpan
dalam waktu yang lama Dalam proses ini, kadar air dan reaksi-reaksi zat aktif
dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu pengeringan perlu
diperhati-kan. Suhu pengeringan tergantung pada jenis bahan yang
dikeringkan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40 – 600 ºC
dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar
air 10%.
Demikian
pula dengan waktu pengeringan juga bervariasi, tergantung pada jenis bahan yang
dikeringkan seperti rimpang, daun, kayu ataupun bunga. Hal lain yang
perlu diperhatikan dalam pro-ses pengeringan adalah kebersihan (khususnya
pengeringan menggunakan sinar matahari), kelembaban udara, aliran udara dan
tebal bahan (tidak saling menumpuk). Penge-ringan bahan dapat dilakukan secara
tradisional dengan menggunakan sinar matahari ataupun secara mo-dern dengan
menggunakan alat pe-ngering seperti oven, rak pengering, blower ataupun dengan
fresh dryer.
Pengeringan
dapat menyebabkan perubahan-perubahan hidrolisa enzimatis, pencokelatan,
fermentasi dan oksidasi. Ciri-ciri waktu pengeringan sudah berakhir
apabila daun ataupun temu-temuan sudah dapat dipatahkan dengan mudah. Pada
umumnya bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air ± 8 – 10%.
Dengan jumlah kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik dalam
pengolahan maupun waktu penyimpanan.
Proses
pengeringan simplisia bertujuan untuk :
a) Mengurangi
kadar air, sehingga simplisia tidak mudah terkontaminasi oleh fungi atau jamur
dan bakteri.
b) Menghentikan
aktivitas atau kerja enzim.
c) Mengurangi
atau mencegah perubahan kimia terhadap senyawa aktif.
6) Sortasi
Kering
Merupakan
pemilihan bahan setelah proses pengeringan, dimana bahan-bahan yang rusak (terlalu
gosong) dan kotoran hewan yang mungkin terdapat didalamnya harus disortasi atau
dibuang. Penyortiran dilakukan bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing
yang terdapat pada simplisia. Proses penyortiran merupakan tahap akhir
dari pembuatan simplisia kering sebelum dilakukan pengemasan, penyimpanan atau
pengolahan lebih lanjut. Setelah penyortiran simplisia ditimbang untuk
mengetahui rendemen hasil dari proses pasca panen yang dilakukan.
7) Pengepakan
dan Penyimpanan
Pengemasan
dapat dilakukan terhadap simplisia yang sudah dikeringkan. Jenis kemasan
yang digunakan dapat berupa plastik, kertas maupun karung goni. Persyaratan
jenis kemasan yaitu dapat menjamin mutu produk yang dikemas, mudah dipakai,
tidak mempersulit penanganan, dapat melindungi isi pada waktu pengangkutan,
tidak beracun dan tidak bereaksi dengan isi dan kalau boleh mempunyai bentuk
dan rupa yang menarik.
Berikan
label yang jelas pada tiap kemasan tersebut yang isinya menuliskan : nama
bahan, bagian dari tanaman bahan yang digunakan, tanggal pengemasan, nomor/kode
produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih, metode penyimpanan.
Penyimpanan
simplisia dapat dilakukan di ruang biasa (suhu kamar) ataupun di ruang
ber AC. Ruang tempat penyimpanan harus bersih, udaranya cukup kering dan berventilasi.
Ventilasi harus cukup baik karena hama menyukai udara yang lembab dan panas.
Perlakuan simplisia dengan iradiasi sinar gamma dosis 10 kGy dapat menurunkan
jumlah patogen yang dapat meng-kontaminasi simplisia tanaman obat. Dosis ini
tidak merubah kadar air dan kadar minyak atsiri simplisia selama penyimpanan 3
– 6 bulan. Jadi sebelum disimpan pokok utama yang harus diperhatikan
adalah cara penanganan yang tepat dan higienes.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan mengenai tempat penyimpanan simplisia adalah :
a) Gudang
harus terpisah dari tem-pat penyimpanan bahan lainnya ataupun penyimpanan alat
dan dipelihara dengan baik.
b) Ventilasi
udara cukup baik dan bebas dari kebocoran atau ke-mungkinan masuk air hujan.
c) Suhu
gudang tidak melebihi 300ºC.
d) Kelembabab
udara sebaiknya di-usahakan serendah mungkin (650ºC) untuk mencegah terjadinya
penyerapan air. Kelembaban udara yang tinggi dapat memacu pertumbuhan mikroorganisme
sehingga menurunkan mutu bahan baik dalam bentuk segar maupun kering.
e) Masuknya
sinar matahari lang-sung menyinari simplisia harus dicegah.
f) Masuknya
hewan, baik serangga maupun tikus yang sering memakan simplisia yang disimpan
harus dicegah
Pada sampel tanaman kangkung darat, pembuatan
simplisia dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Proses pemanenan
dilakukan pada pagi hari menggunakan tangan, lalu hasil panen. Tumbuhan yang
telah dipanen kemudian disortasi antara batang dan daunnya, bagian tumbuhan
yang dipakai hanyalah bagian daunnya saja lalu dicuci dengan air bersih. Daun
yang telah dicuci kemudian ditiriskan, dirajang halus dan dikeringkan pada
lemari pengering. Simplisia kering yang didapat disortasi kembali, kemudian
dihaluskan dengan blender. Dan diayak untuk
memperoleh serbuk simplisia dengan derajat
halus tertentu,
yaitu 4/18.
Setelah itu, serbuk simplisia di ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut
etanol 96%. Proses ektraksi dilakukan kurang lebih selama 6 hari. Kemudian di lakukan
pemekatan ekstrak cair yang diperoleh menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental.
Ektrak kental yang didapat akan digunakan untuk dilakukan standarisasi mutu
ekstrak.
3. Standarisasi
Mutu Simplisia
Standarisasi simplisia dan ekstrak
merupakan langkah awal pengembangan tumbuhan obat yang akan dikembangkan
menjadi sediaan obat tradisional, baik berupa obat herbal terstandar maupun
fitofarmaka. Untuk memperoleh ekstrak yang terstandar, perlu diperhatikan
kondisi wilayah asal tumbuhan, proses pemanenan, sortasi, pasca panen, hingga
metode ekstrasi simplisia, karena semua hal tersebut dapat mempengaruhi
keajegan mutu ekstrak yang diperoleh.
Standarisasi simplisia pada
kangkung darat yang dilakukan terdiri dari :
1) Uji
parameter spesifik
a) Organoleptik
Uji ini dilakukan
sebagai pengenalan awal yang sederhana dan subyektif. Uji dilakukan dengan
menggunakan panca indera meliputi pengenalan bentuk, bau, rasa, dan warna dari ekstrak
kangkung darat.
Tabel Hasil Pengamatan Uji Organoleptik
Parameter
Organoleptik
|
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
Warna
|
Hitam
kehijauan
|
Hitam
kehijauan
|
Hitam
kehijauan
|
Bau
|
Khas
kangkung
|
Khas kangkung
|
Khas kangkung
|
Rasa
|
Asam
dan pahit
|
Asam dan pahit
|
Asam dan pahit
|
Bentuk
|
Kental
|
Kental
|
Kental
|
b) Kadar
kandungan kimia
Dilakukan dengan cara uji kromatografi lapis tipis menggunakan
fase gerak petroleum eter : aseton (7:3).
Fase diam menggunakan Silica Gel 60 GF 254. Kemudian pengukuran dilakukan
dengan mengukur nilai AUC dari spot yang di hasilkan dengan KLT densitometri.
Tabel : Kandungan betakaroten ekstrak daun
kangkung darat
Parameter Pengujian
|
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
Betakaroten (% b/b)
|
2,8
|
5,7
|
3,2
|
Standar Deviasi (SD)
|
0,64
|
0,70
|
1,6
|
2)
Uji
parameter non spesifik
a)
Bobot
jenis
Pengukuran bobot jenis ekstrak dilakukan
dengan menggunakan alat piknometer pada suhu kamar (25ºC). Piknometer yang
telah dikalibrasi, bersih dan kering digunakan untuk menetapkan bobot
piknometer dan air yang telah dididihkan pada suhu 25ºC. Suhu ekstrak cair
diatur hingga suhu dibawah 20ºC kemudian dimasukkan ke dalam piknometer.
Piknometer yang telah diisi, diatur suhunya hingga suhu 25ºC, kelebihan ekstrak
yang ada dibuang dan ditimbang. Hasil perolehan bobot jenis ekstrak cair dihitung
dengan mengurangkan bobot piknometer kosong dari bobot piknometer yang telah
diisi.
Tabel : Hasil
pengukuran bobot jenis ekstrak kangkung darat
Ekstrak
(replikasi)
|
Bobot jenis (g/ml)
|
||
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
|
1
|
0,8210
|
0,8340
|
0,8216
|
2
|
0,8232
|
0,8333
|
0,8195
|
3
|
0,8220
|
0,8349
|
0,8283
|
Rata-rata
|
0,8221
|
0,8341
|
0,8232
|
Standar
Deviasi
(SD)
|
0,0011
|
0,0008
|
0,0046
|
Hasil pengukuran
bobot jenis pada tabel tersebut menunjukkan ekstrak kental daun kangkung darat
dari berbagai wilayah budidaya memiliki nilai yang hampir sama.
b)
Kadar air
Untuk pengukuran kadar air dilakukan dengan
metode destilasi azeotrop. Pereaksi yang digunakan adalah xilene jenuh air,
xilene dikocok dengan sedikit air, biarkan memisah dan lapisan airnya dibuang.
Tabung penerima dan pendingin dibilas dengan akuades, kemudian dikeringkan
dalam lemari pengering. Ekstrak yang digunakan sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam
labu alas bulat yang kering.
Xilene jenuh air sejumlah 200 ml dimasukkan
ke dalam labu alas bulat, rangkaian alat dipasang dan dipanaskan selama 15
menit. Xilene mulai mendidih dan terjadi penyulingan. Setelah semua tersuling,
bagian dalam pendingin dicuci dengan xilene jenuh air, penyulingan dilanjutkan selama
5 menit. Tabung penerima didinginkan hingga suhu ruang. Diperoleh volume air
setelah terjadi pemisahan antara air dan xilene secara sempurna. Kadar air
dihitung dalam % v/b. Proses diulangi sebanyak 3 kali.
Tabel : Hasil
pengujian kadar air ekstrak kangkung darat
Ekstrak
(replikasi)
|
Kadar Air (%)
|
||
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
|
1
|
10,53
|
20,84
|
11,13
|
2
|
11,75
|
20,30
|
10,90
|
3
|
11,59
|
20,66
|
11,13
|
Rata-rata
|
11,29
|
20,60
|
11,05
|
Standar
Deviasi
(SD)
|
0,66
|
0,27
|
0,13
|
Hasil pengujian
kadar air ekstrak dari ketiga wilayah budidaya masih memenuhi persyaratan kadar
air yang diperbolehkan dalam ekstrak
kental yaitu 5-30 %.
c)
Kadar abu
total dan abu yang tidak larut asam
Kandungan
mineral dari ekstrak daun kangkung darat dapat ditunjukkan dari hasil
pengukuran kadar abu total pada ekstrak. Kandungan mineral yang dimaksud dapat
berasal dari internal maupun eksternal (cemaran), termasuk unsur anorganik pada
ekstrak . Mineral yang terkandung dapat berupa garam organik seperti
garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat, dan garam angorganik seperti
garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, dan nitrat. Hasil pengujian
menunjukkan kadar abu ekstrak daun kangkung darat telah sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan oleh Materia Medika Indonesia yaitu tidak
lebih
dari 8,6%.
Hasil
pengujian kadar abu total ekstrak kangkung darat
Ekstrak
(replikasi)
|
Kadar abu total (%)
|
||
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
|
1
|
7,6392
|
3,2973
|
7,4542
|
2
|
7,7092
|
3,3671
|
7,1014
|
3
|
7,6142
|
3,3220
|
6,7450
|
Rata-rata
|
6,7450
|
3,3288
|
7,1002
|
Standar
Deviasi
(SD)
|
0,0492
|
0,0354
|
0,3546
|
Pengujian kadar
abu tidak larut asam bertujuan untuk menunjukkan zat anorganik khususnya kandungan
seperti pasir, silika, lumpur, dan lain sebagainya (Marliani, et al., 2011). Selain
dipengaruhi oleh kondisi topografis lahan (tanah) budidaya dengan kandungan
senyawa tersebut cukup tinggi, proses pencucian, pengeringan, maupun penyimpanan juga dapat
mempengaruhi besar kecilnya kadar zat anorganik tersebut. Hasil pengujian kadar
abu tidak larut asam dari ketiga wilayah menunjukkan kadar yang lebih tinggi
dibandingkan persyaratan yang telah ditetapkan di Materia Medika Indonesia
yaitu tidak lebih dari 1%.
Hasil pengujian
kadar abu tidak larut asam (%)
Ekstrak
(replikasi)
|
Kadar abu tidak larut asam (%)
|
||
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
|
1
|
1,07
|
2,29
|
1,34
|
2
|
1,28
|
2,65
|
1,50
|
3
|
1,38
|
2,41
|
1,12
|
Rata-rata
|
1,25
|
2,45
|
1,32
|
Standar
Deviasi
(SD)
|
0,16
|
0,19
|
0,19
|
d)
Cemaran
logam berat
Hasil
penetapan kadar logam Cd dan Pb ekstrak kangkung darat dari ketiga wilayah
budidaya bernilai lebih kecil dibandingkan nilai Limit of Detection (0,0095 ppm untuk Cd dan 0,0113 ppm untuk Pb), sehingga tidak
bisa dikuantitasikan. Adapun kandungan logam Cd ekstrak kangkung darat yang
berasal dari Daerah Candisari tidak memenuhi persyaratan Badan Standarisasi
Nasional SNI 01-7387-2009 mengenai cemaran logam pada pangan yakni Pb <10
mg/kg bahan dan Cd <0,5 mg/kg bahan
Hasil pengujian kadar logam Cd ekstrak
kangkung darat
Ekstrak
(replikasi)
|
Kadar logam Cd (ppm)
|
||
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
|
1
|
ND
|
0,8507
|
0,026
|
2
|
ND
|
0,4980
|
ND
|
3
|
ND
|
0,3774
|
ND
|
Rata-rata
|
-
|
0,5754
|
-
|
Standar
Deviasi
(SD)
|
-
|
0,246
|
-
|
Keterangan: ND (not detected), dibawah nilai Limit of Detection.
Nilai LoD untuk Cd = 0,0095 ppm
Hasil pengujian kadar logam Pb ekstrak
kangkung darat
Ekstrak
(replikasi)
|
Kadar logam Pb (ppm)
|
||
Balangan
|
Candisari
|
Gantiwarno
|
|
1
|
ND
|
0,0933
|
0,026
|
2
|
ND
|
ND
|
ND
|
3
|
ND
|
ND
|
ND
|
Rata-rata
|
-
|
-
|
-
|
Standar
Deviasi
(SD)
|
-
|
-
|
-
|
Keterangan: ND (not detected), dibawah nilai Limit of Detection.
Nilai LoD untuk Pb = 0,0113 ppm
Cemaran logam Cd
dapat berasal tanah maupun dari pemakaian pupuk. Kadmium terkandung paling
banyak pada pupuk kandang dan pupuk fosfat. Adanya logam kadmium dalam pupuk
kandang menurut literatur disebabkan adanya kontaminasi logam berat yang masuk
ke dalam tubuh ternak melalui aditif pakan. Bahan baku batuan fosfat yang
digunakan untuk membuat pupuk fosfat dapat mengandung logam berat kadmium.
Sedangkan cemaran logam Pb biasanya berasal dari debu yang tercemar oleh Pb
atau cemaran asap kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin.
e)
Uji
pestisida
Pestisida
yang ditetapkan adalah golongan organoklor dan organofosfat. Metode yang
digunakan untuk menganalisis residu pestisida adalah dengan kromatografi lapis
tipis yang dibandingkan dengan standar yang ada. Standar organoklorin yang
dibandingkan adalah DDT, lindan, aldrin, dieldrin, endrin, dan khlordan,
sedangkan standar organofosfat yang digunakan adalah diazinon, regent,
curacron, malathion, dan dursban. Hasil pengujian menunjukkan ekstrak daun
kangkung darat tidak mengandung pestisida golongan tersebut. Hasil ini memenuhi
persyaratan batas minimal residu pestisida menurut SNI 7313:2008 bahwa residu
pestisida setiap golongan antara 0,01-1 ppm.
f)
Uji cemaran
mikroba
Hasil
penetapan cemaran mikroba pada ekstrak etanol kangkung darat memenuhi
persyaratan batasan maksimum mikroba menurut SNI 7388:2009, yaitu dengan batas
maksimum mikroba sebesar koloni/gram.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Simplisia
adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, simplisia merupakan bahan
yang dikeringkan. Simplisia di bagi menjadi tiga, yaitu : simplisia nabati, simplisia
hewani, dan simplisia mineral.
2) Proses
pembuatan simplisia tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans)
terdiri atas pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, pengubahan
bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan.
3) Pada uji parameter spesifik yang meliputi uji organoleptis dan
uji kandungan kimia, menunjukkan bahwa ekstrak daun kangkung darat dari ketiga
daerah memiliki karakteristik yang reltif sama.
4) Pada uji parameter non-spesifik yang meliputi uji bobot jenis
ekstrak, kadar air, kadar abu total, cemaran logam, cemaran pestisida, dan cemaran
mikroba menunjukkan dari ketiga sampel ekstrak daun kangkung darat memenuhi
persyaratan sebagai bahan baku obat herbal terstandar.
5) Hasil standarisasi ekstrak daun kangkung darat menunjukkan bahwa
ekstrak tersebut telah memenuhi
persyaratan sebagai bahan baku obat herbal terstandar.
B. Kritik dan Saran
Produk
hasil tanaman obat yang biasanya terdapat dalam bentuk ekstrak harus
dilakukan standarisasi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keajegan dari mutu
ekstrak yang diproduksi.
Apabila
mengalami gangguan pada kadar gula darah yaitu tingginya kadar gula darah atau
disebut dengan hiperglikemia dan penyakit diabetes melitus, maka salah satu
alternatif pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi daun
kangkung darat (Ipomoea reptans).
Karena ekstrak dari daun kangkung darat mengandung senyawa aktif betakaroten
yang dapat menurunkan kadar glukosa darah.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 1995, Materia Medika Indonesia Jilid
V, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim , 2009, Farmakope Herbal Indonesia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2013, Teknologi Pasca Panen Tanaman
Obat, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian,
Jakarta.
Badan
Standarisasi Nasional, 2008, SNI 7313-2008, Batas
Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian, Badan
Standardisasi Nasional Jakarta.
Badan
Standarisasi Nasional, 2009, SNI 01-7387-2009, Batas
Maksimum Cemaran Logam berat dalam Pangan, Badan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
Badan
Standarisasi Nasional, 2009, SNI 7388-2009, Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Hayati, F;
Widyarini, S, Helminawati, 2010, Efek Antihiperglikemik Infusa Kangkung Darat (Ipomoea
reptans Poir.) pada mencit jantan galur Swiss yang diinduksi Streptozotocin, Jurnal
Ilmiah Farmasi, Vol 7 No1 th. 2010, 13-22.